Jakarta, Motoris – Mobil hybrid laris di Indonesia, terlihat pada kontribusi ke pasar sebesar 5,4% pada 2023, lebih tinggi dari mobil Listrik baterai (BEV) yang hanya 1,7%. Pertanyaannya, apa mobil hybrid masih perlu insentif, dikaitkan dengan penjualan yang sudah tinggi??
Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) dalam perbincangan dengan CGS CIMB Sekuritas Indonesia mengakui, sudah diskusi soal insentif hybrid. Tetapi, sampai sekarang belum jelas.
Bagi Gaikindo, Indonesia bisa menempuh banyak jalan untuk mengadopsi mobilitas hijau. Artinya, BEV hanya satu cara menuju ke situ.
Sementara itu, mobil hybrid bisa menjadi transisi sebelum masuk ke era BEV. Alasannya, stasiun pengisian baterai mobil listrik masih rendah, yang dibarenggi dengan ketidakjelasan harga jual kembali, serta harga yang masih tinggi. Saat ini, mayoritas BEV masih di atas Rp 300 juta.
“Ada perbedaan upaya Thailand dan Indonesia dalam menggenjot adopsi BEV. Dalam konteks itu, Thailand lebih mendorong peningkatan kesadaran masyarakat akan penggunaan BEV, sedangkan Indonesia aktif mengucurkan insentif,” sebut Gaikindo, dikutip dari laporan CGS-CIMB Sekuritas, Kamis (8/2/2024).
Kita tahu, BEV benar-benar dimanja di Indonesia. Mobil jenis ini diguyur insentif dari hulu ke hilir, mulai dari keringanan tarif bea masuk mobil dalam bentuk utuh (CBU), bebas pajak penjualan barang mewah (PPnBM), pajak pertambahan nilai ditanggung pemerintah (PPN-DTP), BBN 0%, hingga bebas ganjil genap.
Sementara itu, hybrid hanya diberi insentif PPnBM 6%, lebih tinggi dari LCGC yang masih ICE murni. PPnBM hybrid juga bisa tambah mahal, jika nanti pabrik battery pack Hyundai sudah beroperasi. (gbr)
Discussion about this post