Jakarta, Motoris – Pemerintah menargetkan produksi mobil listrik murni berbasis baterai (battery electric vehicle/BEV) mencapai 400 ribu unit pada 2025. Pengamat sekaligus Kepala Laboratorium Konservasi Energi Institut Teknologi Bandung (ITB) Agus Purwadi menilai, target itu sangat berat untuk direalisasikan.
Bagi Agus, ada dua faktor yang menyebabkan target itu susah dicapai. Pertama, Indonesia belum memiliki model BEV di segmen kendaraan multiguna (multipurpose vehicle/MPV) dan sport utility vehicle (SUV), dengan harga Rp 300-400 juta. Padahal, SUV dan MPV dengan harga segitu adalah segmen terbesar di Tanah Air, dengan kontribusi 40%.
Adapun saat ini, demikian Agus, harga SUV Hyundai Ioniq 5 berkisar Rp 748-859 juta. Kita tahu semua, mobil dengan harga segitu penjualannya sangat kecil di Indonesia. Sebab, pendapatan per kapita Indonesia masih sangat rendah, sekitar US$ 4.000 per kapita, dibandingkan dengan tiga pusat BEV dunia, yakni Cina, Eropa, dan Amerika Serikat.
Cina memang masih masuk negara pasar negara berkembang. Namun, skala ekonominya sudah sangat besar dengan PDB US$ 17,7 triliun dan PDB per kapita US$ 12 ribu alias tiga kali di atas Indonesia. Cina juga unggul dari sisi industri baterai electric vehicle (EV). Negara ini adalah pemain utama baterai lithium ion, entah itu NCM atau LFP. Kemudian, AS dan beberapa negara Eropa masuk adalah negara maju, sedangkan Indonesia adalah negara pasar berkembang.
Memang, kata dia, ada BEV murah besutan Wuling, yakni Air EV, dengan harga Rp 238-311 juta. Tetapi, mobil itu bukanlah SUV dan MPV. Artinya, Air EV tidak berada di segmen besar.
Pembeli Air EV kemungkinan besar bukan pembeli pertama, bahkan mungkin bisa ketiga atau keempat. Mobil ini bisa saja dibeli untuk menghindari ganjil dan genap. Jadi, mobil ini bukanlah sarana tepat untuk motorisasi masyarakat luas.
Berangkat dari sini, dia menyatakan, pemerintah perlu melakukan upaya besar untuk menghadirkan BEV SUV dan MPV dengan harga Rp 300-400 juta. Pada titik ini, muncul wacana subsidi, seperti yang dilakukan Korea Selatan dan Cina, tax reduction seperti Amerika Serikat, dan insentif pembelian seperti negara-negara Uni Eropa.
“Tetapi, ini akan menjadi bola liar. Nanti, akan muncul pernyataan, buat apa menyubsidi orang beli mobil,” kata dia dalam sebuah diskusi, belum lama ini.
Oleh sebab itu, dia menyarankan pemerintah jangan terlalu mendorong satu powertrain untuk menurunkan emisi, dalam kasus ini hanya BEV. Pemerintah perlu juga memacu powertrain di luar BEV, entah itu hybrid, PHEV, fuel cell, bahkan mesin pembakaran dalam sekalipun. “Cara ini lebih realistis, jika melihat jalan terjal BEV di Indonesia,” kata dia. (gbr)
Discussion about this post