Jakarta, Motoris – Insentif mobil listrik dan hybrid dinilai tidak penting bagi ekonomi Indonesia yang tahun ini menghadapi masalah kompleks, baik dari global maupun internal. Itu sebabnya, perlu evaluasi insentif untuk otomotif tersebut.
Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira menyatakan, ekonomi 2025 bakal lebih kompleks, sehingga diprediksi hanya tumbuh berkisar 4,7-4,9%, dibandingkan 2024 sebesar 5,93%. Dari luar negeri, Presiden AS Donald Trump menggila, terlihat pada keluarnya perintah eksekutif yang bisa menekan perdagangan dan stabilitas keuangan dunia.
Harga komoditas, kata dia, juga turun. Contohnya, harga nikel di pasar global jatuh 4% tahun ini. Pada saat yang sama, mencari tambahan investasi menghadapi banyak tantangan.
Kemudian, demikian Bhima, efisiensi belanja pemerintah akan berpengaruh ke ekonomi, terutama di daerah. Kinerja penyerapan tenaga kerja dan vendor pengadaan jasa ikut kena pengaruh negatif kebijakan itu.
“Solusinya harus ada paket kebijakan, tetapi jangan insentif kendaraan listrik dan hybrid, yang
tidak tepat dan perlu dievaluasi,” ujar dia, Rabu (5/2/2025).
Hal terpenting, dia menegaskan, pertahankan industri padat karya. Jangan sampai hilirisasi didorong, tetapi industri padat karya pailit. Padahal, industri padat karya dibutuhkan di tengah tingginya angkatan kerja baru dan pengangguran usia muda. Padat karya harus dijaga jika mau memperkuat daya beli masyarakat.
“Terakhir, Indonesia harus lebih cepat menarik relokasi industri. Jangan kalah dari Vietnam, Malaysia, Thailand, Kamboja, terutama menarik industri yang terdampak perang dagang antara AS, China, Meksiko, dan Kanada,” papar Bhima.
Kita tahu, mobil listrik baterai (BEV) mendapatkan segudang insentif. Intinya, mobil ini cukup bayar pajak 2%, karena yang lain ditanggung pemerintah. Sementara itu, mobil hybrid dapat insentif PPnBM ditanggung pemerintah sebesar 3%. (gbr)