Jakarta, Motoris – Krisis lithium diprediksi terjadi 2025, saat produksi tak bisa mengimbangi permintaan. Keadaan ini bisa membuat produksi mobil listrik berbasis baterai (battery electric vehicle/BEV) dunia, termasuk Indonesia ambyar.
Berdasarkan laporan etfrends.com, belum lama ini, pemain lithium terbesar dunia saat ini adalah Albermarle Corp, perusahaan yang berbasis di Amerika Serikat (AS). Perusahaan ini batu saja melaporkan torehan laba bersih kuartal III-2022 yang melebihi ekspektasi, seiring lonjakan permintaan lithium dari produsen mobil elektrifikasi dan reli harga jual.
Lithium adalah logam yang tak mengandung besi dan merupakan komponen utama baterai mobil listrik. Lithium ada di katoda baterai BEV bersama nikel, kobalt, mangan/aluminium (baterai lithium ion NCM/NCA) atau besi dan fosfat (lithium ferro phospate/LFP). Adapun anoda dibuat dari mineral gratif.
Setiap baterai BEV membutuhkan 8 kilogram lithium. Tahun lalu, produksi lithium dunia mencapai 100 ribu ton, dengan cadangan 22 juta ton.
Cadangan itu cukup untuk memproduksi sekitar 2,5 miliar baterai di era netralitas karbon tahun 2050. Baterai itu digunakan untuk BEV, PHEV, dan FCEV.
Sayang, lithium tidak hanya digunakan untuk baterai BEV, melainkan sebagai bahan baku baterai sistem penyimpanan energi, ponsel, laptop, dan beberapa produk elektronik lainnya.
“Ironisnya, hanya ada sedikit perusahaan yang dapat memproduksi lithium berkualitas tinggi, lithium dengan kandungan tinggi,” tulis IEA.
IEA memprediksi dunia menghadapi kekurangan pasokan lithium tahun 2025. Ini menjadi tantangan besar bagi produksi BEV seluruh dunia.
“Tidak akan ada kecukupan untuk lithium di planet ini, terlepas siapa yang akan memasok dan mengirim barang ini. Intinya, suplai tak akan cukup,” kata Stuart Crow, chairman Lake Resources, told Financial Times.
Dari dalam negeri, kita tahu semua, produksi BEV tahun 2025 ditargetkan mencapai 400 ribu unit. Tanpa ada lithium, target itu mustahil tercapai. (gbr)
Discussion about this post