Jakarta, Motoris – Mobil hybrid dan mobil listrik baterai (battery electric vehicle/BEV) akur di Thailand, lantaran menjadi alat untuk mengurangi emisi karbon. Namun, di Indonesia, mobil hybrid dan BEV sering dipertentangkan alias dibikin berantem.
Beberapa kalangan menyebut mobil hybrid tak bisa diandalkan, karena masih mengeluarkan emisi karbon. Adapun BEV dinilai layak dijagokan, karena nol emisi karbon. Padahal, jika menilik pendekatan life cycle analysis, BEV tidak bisa bebas emisi, jika masih menggunakan listrik dari pembangkit listrik tenaga fosil. Dari sini, muncul kesan mobil hybrid dan BEV kerap diadu di Indonesia alias main jago-jagoan dan efektif-efektifan dalam menekan emisi.
“Harusnya, BEV dan mobil listrik saling mendukung dan membentuk ekosistem mobil elektrifikasi. Di negara itu, ekosistem elektrifikasi bahkan sudah menyentuh industri daur ulang yang menangani 1.000 baterai per tahun,” ujar Bob Azam, direktur hubungan eksternal TMMIN, dalam sebuah seminar di Surabaya, Selasa (11/10/2022).
Dia menuturkan, Thailand sudah menghasilkan baterai bekas dengan harga sepertiga baterai baru. Itu artinya, ekosistem mobil elektrifikasi semakin luas, karena didukung kebijakan yang baik.
Bob menilai, mobil hybrid punya keunggulan dari sisi efisiensi bahan bakar, yakni 50% lebih rendah dibandingkan mobil pembakaran internal (internal combustion engine/ICE). Artinya, mobil hybrid bisa menjadi senjata mengurangi emisi.
Selanjutnya, dia menuturkan, BEV juga bisa diandalkan. Itu sebabnya, pada 2030, Toyota global akan menghadirkan 30 model BEV dengan target penjualan 3,5 juta unit. Toyota menganggap ekosistem dan teknologi baterai BEV sudah terakselerasi di saat itu, sehingga sudah waktunya masuk.
Di Eropa, dia menegaskan, BEV tersedia di segmen premium dan menengah. Eropa kini agresif menggeber penjualan BEV dengan merilis sejumlah insentif, seperti subsidi. Beberapa negara Eropa memberikan subsidi alias cashback dalam pembelian BEV sekitar Rp 100 juta, sedangkan Cina berkisar Rp 100-200 juta. Amerika Serikat (AS) memberikan subsidi US$ 7.500 untuk pembelian BEV, kendati bakal ada perubahan radikal kebijakan ini tahun depan.
“Ini dilakukan bukan semata mengejar penurunan emisi, melainkan mereka ingin memimpin perubahan teknologi yang bisa menguntungkan,” kata dia.
Dia menilai, hal itu sulit diterapkan di Indonesia dan akan memicu kontroversi. Orang akan bilang, buat apa menyubsidi BEV, lebih baik sembako.
Sejalan dengan itu, dia menyatakan, Indonesia harus menentukan teknologi yang tepat dan efektif untuk mengurangi emisi. Prinsipnya, untuk masuk BEV, ada milestone yang harus dijalani, tidak bisa lompat-lompat.
“Sama seperti manusia, yang tidak bisa langsung lari. Ada proses yang harus dilalui, seperti merangkak, berjalan, baru belari,” tegas dia. (gbr)
Discussion about this post