Jakarta, Motoris – Mobil menjadi sapi perah pemerintah, terlihat pada tingginya pajak yang harus dibayar, baik sang pembuat, distributor, hingga konsumen. Hitungan Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), total pajak mobil mencapai 50% dari harga jual,
Jumlah itu, kata Sekretaris Umum Gaikindo Kukuh Kumara, lebih besar dari Malaysia yang hanya 30%. Padahal, pendapatan per kapita Malysia lebih tinggi dari Indonesia.
“Kendala industri mobil adalah pajak, bisa 50% dari harga mobil. Pajak mobil di Indonesia tertinggi di dunia setelah Singapura. Pajak tahunannya juga mahal,” kata Kukuh dalam diskusi otomotif yang digelar Forwin, belum lama ini.
Dia lantas memerinci urutan pajak mobil untuk mobil rakitan lokal. Pertama, sang pembikin kena pajak pertambahan nilai (PPN) 12% saat menyerahkan mobil ke distributor. Selanjutnya, distributor bayar pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) ke negara, yang besarannya variasi. Ambil contoh MPV 4×2 seperti Toyota Avanza kena PPnBM 15%.
Lanjut, distributor ambil margin dari penjualan ke dealer. Selanjutnya, dealer ambil margin saat melepas barang ke sonsumen.
Sampai di tangan konsumen, yang bersangkutan harus bayar bea balik nama kendaraan bermotor (BBN-KB) dengan tarif bervariasi. Di sini, kita ambil 20% saja. Nggak cukup sampai di itu, ada pajak kendaraan bermotor (PKB) yang besarannya tergantung daerah, tetapi umumnya 2%.
Dari rangkaian itu, ketemulah total pajak mencapai 50%. Bagi mobil impor, pajak bisa sampai 100%, mengingat importir harus bayar tarif bea masuk (BM) yang bisa menyenggol 50%. PPN dan PPnBM masuk ke kas pemerintah pusat, sedangkan BBN-KB dan PKB masuk ke daerah.
“Pajak tahunan kita juga mahal. Contohnya, Avanza di Malaysia pajak tahunannya Rp 330 ribu, sedangkan di sini Rp 4 juta. Di Malaysia tidak ada perpanjangan pajak lima tahun, sedangkan di sini ada,” kata dia.
Selain itu, dia menyatakan, BBN di Malaysia cuma Rp 7.000, sedangkan di sini Rp 300-500 ribu. Tidak ada mutasi di Negeri Jiran, sedangkan di sini ada.
Kukuh menilai, kalau pajak mobil dikurangi, dampaknya ke industri bagus. Salah satu caranya dengan mendefinisikan ulang PPnBM. Bagi Kukuh, mobil tertentu, misalnya Avanza, bukan barang mewah. Mobil seperti ini dipakai untuk bekerja, bahkan naik taksi online.
“Jadi, ini perlu ditinjau. Kalau memang bisa, saya kira pasar mobil kita masih bisa tumbuh,” ujar dia.
Kukuh menegaskan, potensi pasar mobil Indonesia sebenarnya mencapai 3 juta unit per tahun. Hitungan ini muncul dari volume penjualan mobil bekas yang rata-rata mencapai 2 juta unit per tahun, sedangkan mobil baru dalam kondisi normal mencapai 1 juta unit.
Jika jumlah itu dicapai, demikian Kukuh, penjualan mobil Indonesia akan menyamai Meksiko. Efeknya juga sangat besar, di mana pabrik bisa menambah kapasitas produksi yang kini sekitar 2 juta unit per tahun dan jumlah tenaga kerja.
Imbas ke ekonomi, kata dia, akan besar karena penyerapan tenaga kerja bisa mendongkrak daya beli. Industri komponen juga bakal menggeliat, didorong lonjakan penjualan mobil.