Jakarta, Motoris – Subsidi bahan bakar minyak (BBM) disebut membuat nagih dan kecanduan, seperti rokok. Itu sebabnya, subsidi BBM perlu dirombak dan diarahkan ke hal yang lebih produktif.
Hal itu dikatakan Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti merespons rencana pemerintah menaikkan harga BBM, mulai dari solar, Pertalite, hingga Pertamax demi mencegah pembengkakan subsidi dan kompensasi energi menjadi Rp 698 triliun dari yang sudah dianggarkan dalam APBN 2022 Rp 502 triliun.
Sinyalemen kenaikan harga BBM kian dekat, setelah pemerintah, pemerintah berencana memberikan bansos Rp 24,17 triliun yang disebut bentuk pengalihan subsidi dan kompensasi energi.
Eshter menyatakan, kemampuan fiskal APBN 2022 saat ini makin sempit untuk menahan harga BBM bersubsidi, seperti Pertalite dan solar. Oleh sebab itu, kenaikan harga BBM sulit dihindari.
Esther menilai, bansos tidak akan banyak membantu masyarakat kurang mampu dalam menghadapi kenaikan harga barang akibat penyesuaian harga BBM. Sebab, besaran bansos tidak akan sebanding dengan lonjakan harga barang akibat kenaikan harga BBM.
“Bansos ini sifatnya hanya sementara, tidak permanen. Pada titik ini, masyarakat harus disiapkan untuk bisa tahan dengan kenaikan harga BBM yang secara berkala akan dilakukan pemerintah,” kata Esther, belum lama ini.
Seiring dengan itu, penerima bansos harus diarahkan untuk menggunakan bantuan itu untuk kegiatan yang produktif, bukan untuk kegiatan konsumtif. Selain itu, pengalihan subsidi BBM harus menyasar ke kegiatan produktif.
“Contohnya, kalau orang mau berwirausaha, harus dikasih insentif, seperti subsidi bunga agar kreditnya lebih murah. Ini terjadi di Belanda. Di negara itu, orang yang bekerja dan bayar pajak berhak mendapat subsidi,” tegas dia.
Esther menegaskan, ke depan, subsidi harus mengarah ke kemandirian ekonomi, bukan diberikan terus-menerus. Adapun subsidi BBM ibarat memberikan uang ke orang untuk membeli rokok.
“Dalam konteks subsidi, orang Indonesia dan Tiongkok itu berbeda. Orang Tiongkok malu kalau dikasih subsidi, sedangkan Indonesia tidak. Itu sebabnya, kebijakan subsidi harus diubah ke hal produktif,” papar dia.
Selain mengarahkan subsidi ke hal produktif, dia menilai, solusi lain agar masyarakat sanggup menerima kenaikan harga BBM adalah dengan menaikkan upah minimum regional. Namun, cara ini akan memicu inflasi lebih tinggi dan membuat investor enggan ke Indonesia, karena upah buruhnya tidak kompetitif. (gbr)
Discussion about this post