Jakarta, Motoris – Agus Purwadi, pengamat otomotif dari Institut Teknologi Bandung (ITB), setuju insentif mobil listrik baterai (BEV) dilakukan evaluasi, jika realisasi penjualan jauh di bawah target. Selain itu, subsidi itu terbukti menyasar ke orang kaya, terutama yang berdomisili di Jabodetabek.
“Subsidi BEV dilematis, karena yang menikmati yang sebenarnya orang mampu, sedangkan orang menengah ke bawah tidak dikasih apa-apa. Bahkan, sekarang, beli LCGC saja berat, karena ekonomi melambat,” ujar Agus dalam sebuah kesempatan.
Menurut dia, 75% BEV dibeli orang Jabodetabek untuk mobilitas agar bebas ganjil genap atau mengantar anak sekolah. Sementara itu, BEV seret di luar kota besar, karena masalah infrastruktur.
Dia menilai, sangat berat mencapai target penjualan BEV 400 ribu unit tahun 2025. Sebab, kondisi ekonomi sedang berat.
Tahun lalu, dia menegaskan, porsi BEV baru sekitar 5%. Harusnya, dalam kondisi normal, adopsi BEV bisa terakselerasi.
Namun, dia menilai, melihat kondisi saat ini, mencapai 100 ribu unit saja berat. Artinya, jika penjualan BEV tahun 2025 atau 2026 tidak bisa tembus 100 ribu unit, insentif layak dievaluasi.
“Saya kira jika sampai 2026 porsi BEV kurang dari 10%, insentif bisa dievaluasi,” kata dia.
Dia menilai, pada prinsipnya, pasar tidak bisa didikte oleh pemerintah. Sebaliknya, pemerintah harus melihat kebutuhan di pasar sebelum membuat kebijakan.
Faktanya, dia menerangkan, mobil ICE masih dibutuhkan di Indonesia. Ada banyak faktor, di mana salah satunya fasilitas 3S BEV tak sebagus ICE.
“BEV bukan prioritas konsumen mobil domestik, sehingga adopsinya masih rendah. Infrastruktur berupa fasilitas charging station juga belum merata, hanya ada di kota-kota besar Jawa. Selain itu, masyarakat masih meragukan durabilitas baterai BEV,” kata dia.
Subsidi BEV terdiri atas PPN-DTP 10%, bebas tarif impor bea masuk (BM) CBU, PPnBm, PKB, BBN-KB, hingga ganjil genap. Ini membuat pajak BEV hanya 2%, dibandingkan mobil lain 40% lebih. (gbr)